Oleh M. Jamiluddin Ritonga*
PRESIDEN Indonesia selama ini didominasi dari etnis Jawa. Hanya BJ Habibie dan Megawati Soekarno Putri yang berasal dari etnis campuran.
Terpilihnya BJ Habibie dan Megawati menjadi presiden bukan atas pilihan rakyat secara langsung. Habibie menggantikan Soeharto karena secara konstitusi memang harus digantikan oleh wakilnya. Begitu juga Megawati yang menggantikan Abdurahman Wahid (Gus Dur) melalui Sidang Umum MPR RI.
Presiden Indonesia mulai dari Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur dipilih melalui MPRS/MPR serta Soesilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo yang dipilih secara langsung oleh rakyat, semuanya etnis Jawa.
Dominannya pemimpin dari etnis Jawa secara umum bisa dijelaskan dari dua hal. Pertama, penduduk Indonesia dominan etnis Jawa. Karena itu, antara pemilih dengan yang dipilih ada kesamaan dilihat dari etnisnya.
Dalam model komunikasi konvergensi, kesamaan itu akan memudahkan terjadinya komunikasi yang efektif. Konvergensi inilah yang membuat pemilih akan cenderung memilih calonnya dari etnis yang sama.
Kedua, perilaku pemilih di Indonesia masih dominan pemilih emosional. Pemilih seperti ini memiliki hubungan emosional sangat kuat dengan identitas yang membentuk dirinya sejak lahir. Identitas itu bisa terbentuk dalam paham ideologis, agama, dan budaya.
Dominannya pemilih emosional akan menguntungkan calon presiden (capres) dari etnis Jawa dan beragama Islam. Mereka akan memilih calon yang memiliki dua kriteria itu.
Jadi, selama perilaku pemilih Indonesia masih dominan emosional, maka peluang calon dari etnis non Jawa terpilih akan sangat kecil. Indonesia akan tetap dipimpin dari etnis Jawa.
Peluang Indonesia dipimpin oleh etnis non Jawa akan terbuka kalau perilaku pemilih Indonesia berubah dari emosional ke rasional. Pemilih rasional akan memilih atas pertimbangan siapa calon yang paling menguntungkan baginya. Pemilih seperti ini akan melihat program yang ditawarkan si calon menguntungkan baginya atau tidak. Kelompok pemilih ini tidak mempertimbangkan ideologis, agama, dan etnis calon presidennya.
Kalau Indonesia sudah didominasi pemilih rasional, barulah sosok seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Zulkieflimansyah berpeluang memenangkan Pilpres di Indonesia.
Masalahnya, hingga saat ini perilaku pemilih di Indonesia tampaknya masih dominan yang emosional. Karena itu, calon dari etnis Jawa dan beragama Islam akan lebih berpeluang menang pada Pilpres 2024.
Meski demikian, semoga saja pada tahun 2024 ada perubahan signifikan perilaku pemilih di Indonesia. Setidaknya terjadi keseimbangan antara pemilih rasional dan emosional. Kalau ini terjadi, maka calon dari etnis non Jawa masih terbuka untuk memenangkan Pilpres 2024.
*Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul